Senin, 03 Desember 2012

INDAHNYA QIYAMUL LAIL




Bismillahirrahmanirrahim..

Indahnya jika disetiap keheningan malam yang sunyi kita bisa selalu sujud kepada Allah. Qiyamul lail lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Qiyamul-lail adalah Sarana Berkomunikasi seorang Hamba dengan Rabbnya. Sang Hamba akan merasa Nikmat dikala ia ber-Munajat dengan Penciptanya. Ia Ber-DOA, ber-TASBIH dan Memuji sang Pencipta. Allah akan Mencintai Hamba yang mendekat Kepada-Nya. Dan bila Allah mencintai seorang Hamba-Nya, maka Allah akan mempermudah semua Aspek Kehidupan Hamba-Nya tersebut serta akan mengangkatnya ketempat yang terpuji.

“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang TAHAJUD lah kamu sebagai suatu Ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. [Al Israa 79].

Di antara keutamaan Qiyamul-lail berdasarkan dalil-dalil di atas adalah:
• Hatinya akan terjaga dari kerusakan dan penyakit Hati. Karena terlalu banyak tidur bisa menyebabkan rusaknya Hati, karenanya dengan Qiyamul-lail dia bisa mengurangi tidurnya.
• Dia merupakan Shalat Sunnah yang paling utama.
• Orang yang mengerjakannya secara berkesinambungan akan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang banyak ber-Dzikir kepada Allah.
• Dia akan lepas dari gangguan Setan di malam harinya.
• Qiyamullail merupakan sebab baiknya Jiwa, lapangnya Dada, dan semangatnya anggota Tubuh.
• Orang yang mengerjakannya berkesempatan mendapatkan 1/3 malam terakhir yang merupakan waktu dimana segala Doa akan dikabulkan. Dan sebaik-baik Doa saat itu adalah permohonan Ampunana atas semua Dosa-Dosa.

Allah ber-Firman :

"Sesungguhnya orang-orang yang ber-TAQWA berada di dalam taman-taman (Surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di Dunia adalah orang-orang yang berbuat baik ; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon Ampun kepada Allah”. [Adz Dzaariyaat 15-18].

Secara umum, qiyamul lail adalah perkara yang sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Berikut beberapa fadhilah yang bersumber dari beberapa dalil dari ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan berbagai keutamaannya.

Pertama, qiyamul Lail adalah sifat seorang mukmin yang mewujudkan hakikat keimanannya.
Allah Ta’âlâ berfirman,
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ. تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang, apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Rabb-nya, sedang mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka, sedang mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
[As-Sajadah: 15-16]

Kedua, Allah ‘Azza wa Jalla memuji orang-orang yang sering menegakkan shalat pada malam hari sebagai hamba-hamba-Nya yang dimuliakan.
Allah Jalla Tsanâ`uhu berfirman,
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” [Al-Furqân: 64]

Ketiga, pemanfaatan akhir malam adalah kedisiplinan orang-orang yang bertakwa.
Allah Ta’âlâ menjelaskan,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ. آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ. كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan pada mata air-mata air, sambil mengambil sesuatu yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya, sebelumnya di dunia, mereka adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; Dan pada akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah).” [Adz-Dzâriyât: 15-18]

Keempat, Allah membedakan kedudukan orang-orang yang mengerjakan shalatpada malam hari dan orang-orang yang tidak mengerjakan shalat.
Rabbul ‘Izzah berfirman,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ.
“(Wahai orang musyrik, apakah kamu yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada malam hari dengan bersujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya? Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” [Az-Zumar: 9]

Kelima, karena keutamaan qiyamul lail yang sangat besar, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menegakkan shalat malam tersebut.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا.
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk mengerjakan shalat) pada malam hari, kecuali sedikit (dari malam itu), (yaitu) seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua itu, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur`ân itu dengan perlahan-lahan.” [Al-Muzzammil: 1-4]
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ
“Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat pada malam hari dan ketika bintang-bintang (saat fajar) terbenam.” [Ath-Thûr: 49]

Keenam, qiyamul lail adalah bekal untuk menghadapi hari kiamat, hari yang penuh dengan kesulitan.
Allah ‘Azza wa Jalla memerintah,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا. إِنَّ هَؤُلَاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْمًا ثَقِيلًا. نَحْنُ خَلَقْنَاهُمْ وَشَدَدْنَا أَسْرَهُمْ وَإِذَا شِئْنَا بَدَّلْنَا أَمْثَالَهُمْ تَبْدِيلًا.
“Dan pada sebagian malam, bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang saat malam hari. Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan tidak memedulikan kesudahan mereka pada hari yang berat (hari akhirat). Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka. Apabila menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka.” [Al-Insân: 26-28]
Mungkin dari makna ayat di atas, Imam Al-Auza’iy rahimahullah menyatakan, “Barangsiapa yang memperpanjang qiyamul lail, Allah akan memudahkannya (ketika) berdiri pada hari kiamat.” [1]

Ketujuh, Allah menjamin kedudukan yang terpuji untuk Nabi-Nya dengan pelaksanaan shalat tahajjud.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا.
“Dan pada sebagian malam, bertahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” [Al-Isrâ`: 79]

Kedelapan, orang-orang yang menegakkan qiyamul lail pada akhir malam tergolong ke dalam orang-orang yang memohon ampun pada waktu sahur. Allah telah memuji mereka dalam firman-Nya,
الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ.
“(Yaitu) orang-orang yang berdoa, ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.’ (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun pada waktu sahur.” [Âli ‘Imrân: 16-17]

Kesembilan, shalat lail adalah shalat sunnah yang paling utama setelah shalat wajib.
Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Seutama-utama puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) bulan Allah, Muharram, dan seutama-utama shalat setelah (shalat) fardhu adalah shalat Lail.”[2]

Kesepuluh, sedekat-dekat keberadaan Allah terhadap hamba-Nya terhitung pada saat pelaksanaan shalat lail.
Dalam hadits ‘Amr bin ‘Abasah radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الرَّبُّ مِنَ الْعَبْدِ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُوْنَ مِمَّنْ يَذْكُرُ الله َفِيْ تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ
“Sedekat-dekat keberadaan Allah terhadap seorang hamba adalah pada pertengahan malam terakhir. Maka, kalau engkau mampu menjadi orang yang mengingat Allah pada saat itu, lakukanlah.” [3]

Kesebelas, shalat Lail termasuk penyebab yang menjadikan seseorang terhindar dari fitnah sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ,
اسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أَنْزَلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ وَمَاذَا فَتَحَ مِنَ الْخَزَائِنِ , أَيْقِظُوْا صَوَاحِبَاتِ الْحُجْرِ فَرُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٌ فِيْ الْآخِرِةِ
“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam terbangun pada suatu malam lalu bersabda,‘Subhanallah terhadap segala sesuatu yang diturunkan pada malam ini berupa fitnah dan segala sesuatu yang dibuka berupa berbagai perbendaharaan. Bangunkanlah (para perempuan) pemilik kamar karena (mereka) kadang berpakaian di dunia, (tetapi) telanjang di akhirat.’.” [4]

Kedua belas, perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam terhadap shalat malam ini sebagai lambang hamba yang bersyukur.
‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertutur,
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qiyamul lail sampai kedua kaki beliau pecah-pecah, maka saya bertanya, ‘Mengapa engkau melakukan ini, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang?’ Beliau pun menjawab, ‘Tidak (bolehkah) saya suka untuk menjadi hamba yang bersyukur?’.” [5]

Ketiga belas, keutamaan bagi suami istri yang menghidupkan shalat malam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَحِمَ اللهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Allah merahmati seorang lelaki yang bangun pada malam hari lalu mengerjakan shalat dan membangunkan istrinya. Kalau istrinya enggan, ia memercikkan air ke wajah (istri)nya. Allah merahmati seorang perempuan yang bangun pada malam hari lalu mengerjakan shalat dan membangunkan suaminya. Kalau suaminya enggan, ia memercikkan air ke wajah (suami)nya.” [6]

Keempat belas, qiyamul lail adalah kemuliaan seorang mukmin sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallambersabda,
أَتَانِي جِبْرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكِ مَجْزِيٌّ بِهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ وَعِزَّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ
“Jibril datang kepadaku lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, hiduplah engkau sesukamu karena sesungguhnya engkau akan meninggal. Cintailah siapapun yang engkau sukai karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Beramallah dengan (amalan) yang engkau sukai karena engkau akan mendapatkan imbalannya. Ketahuilah bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah shalatnya pada malam hari dan keagungannya adalah perasaan cukupnya terhadap (segala sesuatu yang berada di sisi) manusia.’.” [7]

Kelima belas, qiyamul lail adalah penggugur kejelekan dan pencegah perbuatan dosa sebagaimana dalam hadits Abu Umamah, dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah bersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ ، وَهُوَ قُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ
“Hendaknya kalian mengerjakan qiyamul lail karena (ibadah) itu adalah rutinitas orang-orang shalih sebelum kalian serta (ibadah) itu adalah hal yang mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, penggugur segala kesalahan, dan pencegah perbuatan dosa.” [8]

Keenam belas, qiyamul lail adalah salah satu hal yang mengakibatkan seorang hamba dimasukkan ke dalam surga. Dalam hadits Abdullah bin Salam radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الأَرْحَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.
“Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan kerjakanlah shalat pada waktu malam ketika manusia sedang tidur. Niscaya, kalian akan dimasukkan ke dalam surga dengan keselamatan.” [9]

Ketujuh belas, timbul kecemburuan terhadap orang yang mengerjakan qiyamul lail lantaran kebesaran pahala yang dia peroleh. Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
“Tidak ada hasad, kecuali terhadap dua sifat: seorang lelaki yang Allah berikan Al-Qur`an kepadanya, maka dia pun mengerjakan qiyam dengan (Al-Qur`an) itu pada beberapa waktu saat malam dan siang hari, dan seorang lelaki yang Allah berikan harta kepadanya, maka dia pun menginfakkan (harta) itu pada beberapa waktu saat malam dan siang hari.” [10]

Kedelapan belas, orang yang mengerjakan shalat malam termasuk manusia terbaik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik seorang lelaki adalah Abdullah bin ‘Umar andaikata dia mengerjakan shalat malam.”[11]

Kesembilan belas, orang-orang yang mengerjakan shalat malam tergolong sebagai orang yang banyak berdzikir kepada Allah.
Dalam hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah r bersabda,
إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
“Apabila seorang lelaki bangun tidur pada malam hari, kemudian membangunkan istrinya, lalu keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, keduanya telah ditulis sebagai golongan laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah.” [12]
Demikian beberapa keutamaan shalat lail.

Adapun pada bulan Ramadhan, shalat Lail adalah ibadah yang sangat dianjurkan dan lebih ditekankan. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan ibadah tersebut dalam sabdanya,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang qiyâm Ramadhan (berdiri untuk mengerjakan shalat pada malam Ramadhan) dengan keimanan dan pengharapan pahala, dosa-dosanya yang telah berlalu telah diampuni.” [13]
Imam An-Nawawy rahimahullâh berkata, “Yang dimaksud dengan qiyâm Ramadhan adalah shalat Tarawih.” [14]

Bahkan, Al-Kirmany menukil kesepakatan bahwa, dalam hadits di atas, yang dimaksud dengan qiyâm Ramadhan adalah shalat Tarawih. Namun, nukilan kesepakatan dari Al-Kirmâny tersebut dianggap aneh oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar karena kapan saja qiyamul lail dikerjakan pada malam Ramadhan dengan berjamaah (tarawih) atau tanpa berjamaah, hal yang diinginkan telah tercapai. Demikian makna keterangan Al-Hâfizh Ibnu Hajar.[15]

Selain itu, dalam hadits ‘Amr bin Murrah Al-Juhany radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
جَاءَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَأَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ ، وَصُمْتُ الشَّهْرَ ، وَقُمْتُ رَمَضَانَ ، وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ))
“Seorang lelaki dari Qudhâ’ah datang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana menurut engkau andaikata saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq, kecuali Allah, dan engkau rasul Allah, saya mengerjakan shalat lima waktu, saya berpuasa (pada) bulan (Ramadhan), saya melakukan qiyâm Ramadhan, dan saya mengeluarkan zakat?’ Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang meninggal di atas hal ini, ia termasuk sebagai para shiddîqîn dan orang-orang yang mati syahid.’.” [16]

Dalam hadits lain, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya seorang lelaki, apabila mengerjakan shalat bersama imam sampai selesai, terhitung mengerjakan qiyâm satu malam.” [17]

Tentang lailatul qadri, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berdiri (untuk mengerjakan shalat pada) malam lailatul qadri dengan keimanan dan pengharapan pahala, dosanya yang telah berlalu telah diampuni.” [18]
Wallahu A’lam.

________________________________________
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asâkir dalam Tarikh-nya 35/195.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1163, Abu Dâud no. 2429, At-Tirmidzy no. 438, dan An-Nasâ`iy 3/206-207.
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/182, At-Tirmidzy 3588, An-Nasâ`iy 1/279, Ibnu Khuzaimah no. 1147, Al-Hâkim 1/453, Ath-Thabarâny dalam Musnad Asy-Syâmiyinno. 605, 1969 dan dalam Ad-Du’â` no. 128, Al-Baihaqy 3/4, serta Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 4/13, 22-23. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam beberapa buku beliau, dan Syaikh Muqbil, dalam Al-Jami’ Ash-Shahîh 2/171.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 115, 1126, 5844, 6218, 7069.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 4837 dan Muslim no. 2820 dari Aisyahradhiyallâhu ‘anhâ. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry no. 1130, 4836, 6471, Muslim no. 2819, At-Tirmidzy no. 412, An-Nasâ`iy 3/219, dan Ibnu Mâjah no. 1419 dari hadits Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallâhu ‘anhu.
[6] Diriwayatkan oleh Ahmad 2/250, 437, Abu Dâud no. 1308, 1450, An-Nasâ`iy 3/205, Ibnu Mâjah no. 1336, Ibnu Khuzaimah no. 1148, Ibnu Hibbân no. 2567 -Al-Ihsân-, Al-Hâkim 1/453, dan Al-Baihaqy 2/501. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dan Syaikh Muqbil dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahîh 2/172.
[7] Dikeluarkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, As-Sahmy dalamTârîkh Al-Jurjân, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, Al-Qadha`iy, dan Abu Nu’aim. Dishahihkan oleh Al-Hâkim dan dihasankan oleh Al-Mundziry, Al-‘Iraqy, dan Al-Albâny. BacalahAsh-Shahîhah no. 831. Uraian jalur-jalur periwayatannya dari tiga orang shahabat.
[8] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, dan selainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albâny dari seluruh jalan-jalannya. Baca pembahasan beliau dalamIrwâ’ul Ghalîl no. 452.
[9] Diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Mâjah, dan Al-Hâkim. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Ash-Shahîhah no. 569.
[10] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.
[11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari Hafshah bin ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ.
[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Abu Dâud no. 1453, An-Nasâ`iy dalam Al-Kubrâ` 1/413, Ibnu Majah no. 1335, Ibnu Abid Dunyâ dalam At-Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 233, 426, Al-Âjurry dalam Fadhlut Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 20, Al-Bazzar 2/423/8281, Al-Harits bin Abi Usamah no. 239, Ibnu Hibban no. 2568-2569, Al-Hâkim 1/461, 2/452, dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubrâ` dan Syu’abul Îmân.
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 37, 2008-2009, Muslim no. 759, Abu Dâud no. 1371, At-Tirmidzy no. 682, 807, dan An-Nasâ`iy 3/201, 4/154, 155, 156, 157, 8/117-118 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
[14] Syarh Muslim 6/38.
[15] Bacalah Fathul Bâry 4/251.
[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2212, Ibnu Hibbân sebagaimana dalamAl-Ihsân no. 3438, Ath-Thabarâny dalam Musnad Asy-Syâmiyin no. 2939, dan Al-Khathîb dalam Al-Jâmi’ li Akhlâq Ar-Râwy 2/207. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Qiyâm Ramadhân hal. 18.

[17] Hadits Abu Dzar dengan konteks yang panjang. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzâq 4/254, Ibnu Abi Syaibah 2/164, Ahmad 5/159, 163, Ad-Dârimy 2/42, Ibnul Jârûd no. 403, Abu Dâud no. 1375, At-Tirmidzy no. 805, An-Nasâ`iy 3/83, Ibnu Mâjah no. 1327, Ibnu Abid Dunyâ dalam At-Tahajjud wa Qiyâmul Lail no. 402, Ath-Thahâwy dalamSyarh Ma’âni Al-Atsâr 2/349, Ibnu Khuzaimah no. 2206, Ibnu Hibbân no. 2547, Al-Baihaqy 2/494 dan dalam Syu’abul Îmân 3/178-179, dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 8/112. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam Irwâ`ul Ghalîl 2/193/447, dan Syaikh Muqbil, dalam Al-Jâmi’ Ash-Shahîh 2/175.
[18] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 35, 1901, 2014, Muslim no. 760, Abu Dâud no. 1372, At-Tirmidzy no. 682, dan An-Nasâ`iy 4/156, 157, 8/118 dari Abu Hurairahradhiyallâhu ‘anhu.

IRCA “Kreatifitas Muslim Sholeh Berprestasi”

As-St

Tidak ada komentar: